Aksi Rusuh Jakarta 21-22 Mei 2019, Hasil Ego Kepentingan Politik

oleh -776 Dilihat

Oleh Stanislaus Riyanta

Seperti sudah diduga sebelumnya, penetapan hasil Pemilu 2019 oleh KPU pada 21 Mei 2019 ditolak dan menjadi alasan bagi pendukung paslon tertentu untuk unjuk rasa. Unjuk rasa yang dilakukan dapat dimaklumi karena merupakan hak setiap warga negara. Namun ternyata unjuk rasa tersebut ditunggangi oleh kelompok tertentu kemudian memicu terjadinya kerusuhan bahkan hingga menimbulkan korban jiwa.

Unjuk rasa menentang keputusan KPU dipicu oleh ajakan aksi people power oleh elit politik di kubu tertentu, meskipun kemudian nama aksinya direvisi menjadi Gerakan Kedaulatan Rakyat. Ajakan ini sudah mendahului pengumunan dari KPU sebelumnya. Narasi untuk melakukan people power ini dilengkapi dengan katalisator isu bahwa Pemilu curang. Dengan tambahan bumbu-bumbu ideologi dan agama, maka massa pendukung akhirnya melakukan unjuk rasa dan datang mulai 21 Mei 2019.

Pada hari pertama unjuk rasa, jumlah massa akhirnya mencapi sekitar 3.000 orang. Meskipun suasana cukup panas namun unras dapat berlangsung dikawal aparat keamanan hingga sekitar pukul 23:00 WIB. Ketika massa sudah bubar, tiba-tiba muncul kelompok massa lainnya dan melakukan provokasi kepada anggota polisi yang berjaga. Provokasi inilah yang akhinya membesar dan terus berlanjut hingga 22 Mei 2019 malam hari.

Kerusuhan tidak hanya terjadi di sekitar Bawaslu. DI beberapa tempat terjadi kerusuhan sebagai dampak dari aksi unras di Bawaslau, yaitu di Flyover Slipi, Asrama Brimob Petamburan, Jatinegara, Gambir, Jln Wahid Hasim, Sabang dan sekitarnya. Tujuh orang tewas, dan puluhan lainnya luka-luka. Akibat dari kerusuhan ini, tujuh orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka, beberapa fasilitas dan ruang publik rusak, aktivitas masyarakat terganggu dan menderita kerugian.Transportasi massa seperi KRL dan Busway operasionalnya  juga terganggu.

Kerusuhan yang terjadi pada 21-22 Mei 2019 di Jakarta bukan sesuatu yang alamiah. Banyak petunjuk yang mengarah bahwa kerusuhan tersebut dengan desain. Desain kerusuhan ini dipicu dan diawali oleh seruan untuk melakukan people power yang kemudian berganti nama menjadi gerakan kedaulatan rakyat. Seruan inilah yang menjadi kemasan dari aksi-aksi massa yang berujung kepada kerusuhan 21-22 Mei 2019.

Adanya pergantian massa pada malam hari 21 Mei 2019 menunjukkan bahwa sudah ada operator-operator yang disiapkan untuk melakukan provokasi. Selain itu beberapa barang untuk melakukan aksi rusuh tampak sangat terencana. Lemparan petasan yang tidak pernah putus dari para perusuh menunjukkan adanya persiapan massa untuk melakukan perlawanan kepada Polri dan melakukan aksi anarkis. Hal ini juga diperkuat dengan adanya temuan mobil ambilan tanpa peralatan medik namun justru membawa batu.

Dari hasil penyidikan kepada orang-orang yang ditangkap karena melakukan aksi rusuh, ditemukan barang bukti yang menunjukkan persiapan untuk melakukan aksi rusuh sudah sangat matang. Bahkan Polri juga menemukan amplop dan uang dalam pevahan rupiah dan dollar, yang mengindikasikan ada massa bayaran dalam aksi ini. Hal ini juga diperkuan dengan mobilisasi massa dari luar daerah, terutama yang melakukan aksi penyerangan kepada Asrama Brimob di Petamburan.

Dari berbagai aksi rusuh di beberapa tempat seperti di Thamrin, Slipi, Petamburan, dan Gambir, sangat jelas bahwa Polri menjadi target utama oleh kelompok perusuh. Kelompok ini juga memprovokasi massa yang melakukan aksi ke Bawaslu untuk melawan petugas aparat keamanan. Tentu saja skenario yang diharapkan adalah semakin banyak massa yang melawan maka situasi yang tidak terkendali terjadi, dan saat itulah dalang dari kelompok perusuh ini akan memperoleh kesempatan dan keuntungannya.

Dalam menilai aksi rusuh 21-22 Mei 2019, harus dibedakan antara massa yang benar-benar melakukan unjuk rasa ke Bawaslu karena tidak menerima hasil Pemilu, dengan kelompok perusuh. Massa yang melakukan aksi unjuk rasa pada dasarnya tertib dan tidak ada gesekan dengan petugas keamanan. Pada malam hari 21 Mei 2019 sebelum membubarkan diri, massa yang unjuk rasa bahkan melambaikan tangan ke petugas dan saling jabat tangan, namun yang terjadi kemudian adalah ada lemparan botol bahkan petasan dari massa. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok perusuh yang berada di antara massa memang sengaja memprovokasi petugas dan akhirnya membenturkan petugas dengan massa unjuk rasa.

Kelompok yang melakukan aksi di Slipi teridentifikasi bukan dari masyarakat, hal tersebut juga terjadi pada kelompok massa yang melakukan aksi penyerangan ke Asrama Brimob di Petamburan, yang dari hasil penangkapan adalah massa dari daerah dan merupakan bayaran. Kelompok perusuh teridentifikasi pula dari hasil sweeping di berbagai daerah dimana ditemukan barang-barang berbahaya seperti senjata tajam dan molotov.

Dari berbagai temuan tersebut dapat disebutkan bahwa ada kelompok terorganisir yang menyusup di antara massa yang berunjuk rasa di Bawaslu. Kelompok ini melakukan aksi kerusuhan dengan sasaran utama adalah Polri. Selain menyerang secara langsung, kelompok ini juga memprovokasi massa untuk ikut melakukan perlawanan terhadap Polri.

Untuk mencegah kasus ini kembali terulang, maka beberapa hal yang dapat dilakukan terutama oleh aparat keamanan adalah sebagai berikut: pertama adalah memastikan bahwa peserta unjuk rasa tidak disusupi oleh kelompok perusuh. Aksi penggledahan perlu dilakukan di tempat-tempat tertentu, bukan untuk mempersulit peserta unjuk rasa namun justru untuk memastikan peserta unjuk rasa tidak disusupi oleh kelompok tertentu yang akan mengadu antara peserta unjuk rasa dengan aparat keamanan,

Kedua, aparat keamanan harus kompak dan satu bahasa. TNI Polri harus bersatu padu dalam menjaga keamanan masyarakat dan mencegah terjadinya penyusupan. Dalam situasi seperti ini sangat rawan dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk memecah belah TNI Polri.

Ketiga, dari operator dan pelaku kerusuhan yang berhasil diamankan, harus dilakukan penyidikkan hingga aktor intelektualnya dan ditindak tegas sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku, bahkan jika hal tersebut mengarah kepada kelompok elit, tetap harus dilakukan tindakan tegas.

Keempat, dan yang paling penting, adalah rekonsiliasi nasional harus dilakukan. Ego dan kepentingan politik dari kelompok dan pribadi harus disingkirkan, utamakan persatuan dan kesatuan negara tercinta. Jika ada kelompok yang justru menolak untuk dilakukan rekonsiliasi untuk mengakhiri polarisasi yang telah terjadi, maka dapat diduga bahwa kelompok tersebut mempunyai agenda yang bertentangan dengan situasi aman dan damai.

Kepentingan politik akan selesai dan berhenti ketika para elit mau mengutamakan kepentingan bangsa dan negaranya. (*)

*) Stanislaus Riyanta, analis keamanan dan terorisme, mahasiswa Doktoral di Universitas Indonesia