Jakarta – Gerakan Santri Nusantara bersama Pengurus Besar Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia (GPMI) menggelar diskusi bertema ‘Virus Intoleran, Radikal, Polarisasi Ancaman Persatuan’ di Hotel Bintang Baru, Sawah Besar, Jakarta Pusat, Rabu, 3 Agustus 2022.
Dalam kegiatan itu turut menghadirkan beberapa narasumber yakni Ketum PB GPMI Syarief Hidayatullah, Pengamat Politik Indonesian Public Institute Karyono Wibowo dan Pengamat Intelijen dan Terorisme Stanislaus Riyanta. Moderator dimpimpin Ketua Gerakan Santri Nusantara, Abdullah Kelrey.
Dalam diskusinya, Ketum PB GPMI Syarief Hidayatullah mengapresiasi sikap KH Abu Bakar Baasyir yang telah mengakui eksistensi Pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Dalam konteks lain, GPMI secara organisasi juga telah banyak melakukan kerja-kerja untuk kepentingan bangsa dan negara.
“KH Abu Bakar Baasyir kini telah mengakui adanya Pancasila. Itu sesuai dengan ajaran Islam kita. Pancasila sebagai dasar Negara. Saya selaku Ketua GPMI, kemarin saya sempat diajak ke Desa deklarasi pelantikan di Bengkulu. Kemarin-kemarin desa itu gak pernah menyanyikan lagu Indonesia Raya sekarang alhamdulillah sudah menyanyikan lagu itu sekaligus membacakan teks Pancasila,” kata Syarief Hidayatullah.
Syarief menegaskan, pihaknya masih terus terlibat aktif mensosialisasikan Pancasila melalui banyak pondok pesantren. Langkah ini sebagai bentuk upaya mendidik anak bangsa untuk kepentingan bangsa yang berpedoman terhadap ideologi Pancasila.
“Saya yakin masih banyak (yang berpaham radikalisme), tapi harus sadar diri sebagai manusia, bahwa ini anak bangsa, untuk kepentingan bangsa, jadi harus terus bekerja untuk mendidik. Kami bersama GPMI melakukan sosialisasi Pancasila melalui P4 dan pesantren,” ujarnya.
“Wajib hukumnya menyampaikan pemahaman agar tidak terjadi seperti yang telah disebutkan. Ideologi adalah pemikiran, pemikiran harus dilawan juga dengan pemikiran,” sambung Syarief.
GPMI juga menyambut baik langkah KH Abu Bakar Baasyir yang kini telah mengakui eksistensi Pancasila sebagai landasan daripada kehidupan yang diakui semua pihak.
“Alhamdulillah, apa yang disampaikan KH Abu Bakar Baasyir, kami GPMI menyambut sangat baik. Artinya, ke depan bangsa ini sudah mulai tertata rapi sehingga Pancasila sebagai landasan daripada kehidupan kita sudah diakui semua pihak,” ujarnya.
GPMI pun juga menghimbau kepada kelompok yang belum mengakui ideologi Pancasila untuk berjalan bersama sesuai dengan apa yang telah diarakan KH Abu Bakar Baasyir.
“Bagi saudara-saudara kita yang belum, marilah kita sama-sama untuk berjalan sesuai dengan arahan daripada apa yang diakui oleh KH Abu Bakar Baasyir sehingga bangsa ini bisa bersatu tanpa harus ada perseteruan,” katanya.
“Di momen 17 Agustus ini mari kita jaga persatuan dan kesatuan untuk keutuhan bangsa. Kami GPMI jelas menyambut baik menolak adanya paham radikalisme. Tidak akan luntur kita, NKRI harus kita jaga. (Abu Bakar Baasyir akui Pancasial) sangat positif sekali untuk bangsa kita sehingga kita bisa terjaga dengan baik tidak ada lagi kemelut-kemelut. Pancasila terbaik untuk bangsa ini tidak ada lagi,” tambahnya.
Di samping itu, GPMI juga merasa optimis kepada kelompok dalam hal ini eks Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) akan melakukan deklarasi ikrar setia terhadap NKRI dan ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Pemerintah harus persuasive, mereka juga masih banyak anggotanya. Pemerintah juga harus melakukan sosialisasi ‘oh ini sudah mengakui. Itu sudah mengakui’ agar beliau juga turut serta dalam membangun bangsa ini dan mengakui Pancasial ini,” kata Syarief.
“Bagaimana caranya pemerintah lah harus turun tangan tekait maslah HTI. Saya sangat optimis sekali (HTI kembali ke Pancasila) semuanya. Itu semua kan kawan-kawan kita semuanya,” ungkapnya.
Sementara itu, Pengamat intelijen dan terorisme, Stanislaus Riyanta, menerangkan bahwa, radikalisme dapat berupa motif politik dan ideologi. Umumnya, kelompok ini kerap mengedepankan kekerasan untuk mencapai misinya baik untuk politik ataupun agama.
“Kita harus sepakat dulu bahwa terminologi radikalisme di sini adalah usaha yang keras, menggunakan kekerasan dia bermotif bisa politik bisa ideology jadi radikal itu bermacam-macam. Dalam konteks diksusi ini kita batasi. Radikalisme menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan dengan politik dan agama,” katanya.
“Jadi kita sesuaikan dengan Undang-Undang Nmor 5 Tahun 2018. Sejak tahun 2000 hingga 2021, tercatat ada 522 aksi teror, terbayak di era SBY ada 192 aksi terror dan itu macam-macam ada pengeboman, bunuh diri dan lain-lain,” ujar Stanislaus.
Dia menegaskan, selama kurun waktu itu ada perpindahan arus besar yang dulu dikuasai oleh kelompok yang berafiliasi dengan Al Qaeda, Jamaah Islamiyah pasca penangkapan Abu Bakar Baasyir, kemudian, kata dia, muncul kelompok yang berifiliasi dengan ISIS yang diangap lebih kejam.
“Dalam 3 tahun terakhir itu terjadi perubahan strategi kelompok-kelompok radikal yang dulu menggunakan cara kekerasan sekarang berubah menjadi non kekerasan. Cara-cara kekerasan ini merugikan mereka, aksi teror tangkap-tangkapi, mereka dihujat oleh masyarakat,” ujarnya.
Persoalannya, kata Stanislaus, sekarang kelompok tersebut menggunakan cara-cara yang halus bahkan berjedok seperti kegiatan keagamaan, menggalang dana misalnya. Selama mereka melakukan aksi teror, lanjut Stanislaus, kelompok tersebut tidak terjerat UU Nomor Tahun 2018.
“Selama mereka tidak berbentuk ormas, mereka tidak terjerat UU Ormas akhirnya yang terjadi adalah seperti Khilafatul Muslimin, dijeratnya dengan jeratan pidana. Nah, kelompok-kelompok itu juga bisa masuk ke mana-mana. Tercatat sudah banyak ada catatan di kami terutama pasca bom Surabaya, kemudian ada juga oknum dari Polri bahkan begabung ke Suriah, BUMN apalagi,” ungkapnya.
Menurut Stanislaus, radikalisme tidak ada batasan profesi, pendidikan, ekonomi. Bahkan menurutnya, ada yang level jabatannya sudah eselon dua dan dari BUMN pun ikut bergabung ke Suriah. Ada yang pendidikannya S1 dari pendidikan kedinasan begabung juga.
“Jadi itu tidak mengenal eknomi, profesi, pendidikan. Bahkan ISIS yang identik dengan simbol-simbol muslim itu behasil merebut kampus. Jadi ini lintas agama, profesi. Ini bisa terjadi pada siapa saja. Kita juga sangat mudah sekali terpapar apalagi kali ideologi tidak kuat,” katanya.
“Yang paling penting sekarang adalah bagaimana kita menguatkan ideology. Kalau ideology kita kuat kita tak akan pengaruh, mau kanan, kiri atau atas, bawa, selama Pancasila kita kuat kita tak akan terpancing seperti itu,” tambah Stanislaus.
Ditegaskan Stanislaus, menggalakan pendidikan Pancasila harus dilakukan dengan berbagai cara yang dapat diterima oleh kelompok milenial melaui peran lembaga dan institusi terkait. Kata dia, melakukan doktrinasi ideologi pancasila dengan cara-cara yang tidak kekinian.
“Ini yang harusnya menjadi introspeksi kita, kenapa sekarang banyak orang tertarik dengan ideology lain. Kenapa dia mudah berpaling dari Pancasila? Jangan-jangan doktrin Pancasila tidak berhasil?? Atau jangan-jangan Pancasila tidak menarik untuk setiap orang? Kalau masalah ini ini berarti kan kita harus lebih menguatkan Pancasila. Ada BPIP, pendidikan Pancasila harus lakukan dengan cara-cara kekinian bukan doktirnasi Pancasila pada anak milenial tapi dengan cara-cara kolonial,” tegasnya.
Di sisi lain, Stanislaus menegaskan bahwa politik identitas tak bisa terelakan dalam situasi politik apapun. Menurutnya, yang salah yakni saat politik identitas digunakan dengan cara ekstrem sehingga merendahkan martabat manusia sehingga orang yang meninggal pun ditakut-takuti.
“Politik identitas tak bisa terelakkan. Politik identitas itu sah. Saya orang jawa, saya ngajari orang-orang Jawa. Yang salah adalah saat politik identitas digunakan dengan cara ekstrem sehingga merendahkan martabat manusia sehingga orang yang meninggal pun ditakut-takuti,” ujarnya.
“Mari bersama kawal proses demokrasi 2024 dengan cara yang tak merendahkan martabat manusia. Tujuan politik adalah untuk meninggikan kualitas hidup manusia. Mari hilangkan sekat-sekat yang mengarah ke politik identitas yang merendahkan martabat manusia,” katanya.
Sementara itu, Pengamat politik Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo, mengatakan bahwa, bangsa ini sedang dikepung beberbagai macan ideologi yang berpotensi menjadi ancaman terhadap bangsa dan Negara.
Menurutnya, ada dua kutub ideologi yang mengepung Pancasila yaitu ideologi transnasional di satu sisi dihadapkan pada ideologi radikalisme ektrimisme beragama, di sisi lain dihadapkan pada ideologi liberalisme.
“Jadi tidak hanya ancaman terhadap ideology Pancasila itu tidak hanya radikalisme ekstrimisme beragama tetapi juga ada yang tidak kalah masifnya ancaman liberalisme itu merangsek kepada sendi-sendi kehidupan kita,” kata Karyono.
“Liberalisme itu menebarkan paham kebebasan tanpa batas, kebebasan individu. Saat ini itu makin berkembang di tengah-tengah masyarakat,” sambungya.
Di sisi lain, kata Karyono, Indonesia dihadapkan ideologi radikalisme eskrimisme beragama yang berkembang secara global dan paling banyak di Timur Tengah termasuk di Indonesia. Hal tersebut sebagai gerakan sebuah pandangan sempit memaknai agama sehingga memunculkan gerakan sikap intoleransi, kekerasan yang berbasis pada fanatisme beragama.
“Bahkan paham takfiri juga semakin meningkat, kelompok ini tidak hanya mengkafirkan agama, kelompok yang yang berbeda tapi juga mengkafirkan saudaranya yang seiman yang memiliki keyakinan yang sama. Ini juga fakta, sampai hari ini berkembang,” katanya.
“Kita harus jujur ya mengakui bahwa di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) meulai muncul ketegasan di dalam menangani aksi-aksi kelompok radikal. Contoh yang paling konkrit misalnya, pemerintah melaui pengadilan itu membubarkan organisasai radikal Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) kemudian melarang symbol-simbol organisasi Front Pembela Islam (FPI),” jelas Karyono.
Selain itu , kata Karyono, ketegasan pemerintah di dalam menangani Radikal ditunjukan dengan beberapa aturan ormas. Begitu juga bebrapa kali muncul aksi radikal yang terbaru misalnya, sudah ada kesadaran pemerintah untuk segera menangi masalah-masalah yang muncul di masyarakat terkait aksi-aksi terkait radikalisme. Hal itu, tegas Alumni GMNI ini, indikator keberhasilan tentu saja masih ada bebarapa catatan.
“Di tengah masifnya platform media social itu tidak mudah untuk menangani masalah kaum radikal ini karena doktrin itu di sebarkan melalui social media di mana setiap individu itu bisa menyebarkan paham-paham radikal dengan waktu yang cepat,” katanya.
Menurut Karyono, di era disrupsi informasi ini menjadi pintu masuk bagi berkembangnya kaum radikal. Paham-paham radikal ekstrimisme itu menyebar berbagai kanal media terutama media sosial yang paling membahayakan. Bahkan tidak hanya paham tetapi juga teknik merakit bom itu mudah sekali diakses. Bebarapa kali kejadian bom pelakunya belajar dari internet.
Ditegaskan Karyono, teknologi informasi ini menjadi pintu masuk bagi tumbuhnya paham radikal ini. Nah inilah pentingnya regulasi bagaimana mencegah paham radikal ini di internet. Di Jerman, lanjut dia, sudah ada aturan sendiri, sementara di Indonesia payung hukumnya masih menggunakan UU ITE.
“Di Jerman itu sudah membuat UU khusus tekait hal itu untuk mencegah paham radikal, hate speech dan kebencian yang bertebaran di media sosial begitu juga Singapura juga sudah membuat UU khusus tentang hal itu. Artinya mereka menganggap hal ini sangat penting terkait potensi ancaman membahayakan bagi integrasi bangsa,” ungkapnya.
Dia menerangkan, yang perlu diwaspadai salah satunya adalah proxy war. Karyono meyakini bahwa dua kutup ideologi yang disebut sebagai ideologi transnasional itu bagian dari strategi proxy war. Karena, menurut dia, proxy war sebagai strategi perang yang sangat efisien untuk menjadikan suatu Negara tanpa harus melakukan invasi militer yang itu biayanya sangat besar.
“Nah yang paling efektif untuk melemahkan suatu Negara itu menggunakan proxy war tadi. Politik identitas yang bersumber dari paham ekstrimisme beragama itu juga mengancam bagi demokrasi kita. Tidak hanya itu, tapi juga mengancam integrasi bangsa. Polarisasi yang terjadi di masyarakat itu semakin masif ketika ada kontestasi politik misalnya Pilkada DKI Jakarta,” tambah Karyono.
“Polarisasi dalam pergulatan politik itu sebuah keniscayaan, tidak bisa dihindari. Di Amerika, Inggris, Jerman, Norwegia, dan berbagai Negara namanya politik indentitas itu hadir di sana, ada. Polarisasi politik itu tidak bisa dihindari, ada di sana,” ungkapnya.
Bedanya, dijelaskan Karoyono, adalah mereka bisa memaknai perbedaan. Di Indonesia berbeda, perbedaan pilihan politik, perbedaan pilihan justru menimbulkan segregasi, keretakan hubungan antara pendukung kandidat yang satu dengan kandidat yang lain.
“Ini terjadi terus menerus. Dalam Pildaka DKI Jakarta luar biasa, itu menjadi sorotan dunia bahkan jadi jadi salah satu penyebab index demokrasi Indonesia itu menurut karena terjadinya politik indentitas yang terus menguat,” ungkapnya.
“Lalu kemudian pemilu 2014 juga sangat masif politik indentitas yang menimbulkan polarisasi di masyarkat, terjadi juga pada pemilu 2019 yang lalu. Itu fakta. Agama dijadikan jubah untuk kepentingan politik,” sambungnya.
Karyono memprediksi bahwa politik identitas masih akan terus terjadi pada pemilu 2024 mendatang. Dia meyakini, sudah ada kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama yang preferensi pilihannya itu sudah mengarah kepada satu kesamaan latar belakang identitas.
“Lalu bagaimana pada pemilu 2024 yang akan datang? Indikatornya itu masih akan terjadi politik indentitas akan mewarnai pemilu 2024. Nah, kalau kita lihat sekarang itu coba mulai begerak kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama yang preferensi pilihannya itu sudah mengarah kepada satu kesamaan latar belakang identitas,” katanya.
“Narasi-narasi intoleran menjelang pemilu 2024 mencuat. Saya khawatir apakah ini ada agenda pemilu atu tidak? Saya belum bisa memastikan. Ingat bebasnya Habib Rizieq Shihab misalnya, nah kira-kira ini apa yang akan terjadi. Kalau kita lihat indikatornya, begitu dia keluar, itu sudah mulai disambut kelompok-kelompok pendukungnya,” tegas Karyono.
“Saya khawatir ini dijadikan sebagai suatu lokomotif gerakan yang mengusung kembali politik indentitas pada pemilu 2024. Saya kira itu juga yang perlu kita waspadai jangan sampai kemudian seperti pada sebelumnya,” ungkapnya.