Senat UKI dalam Agenda FGD RKUHP : Hilangkan Nuansa Hukum Kolonial, Dukung Wamenkumham Revisi KUHP

oleh -148 Dilihat

Roberto Vaildo selaku ketua Senat UKI dan panitia FGD (Forum Group Discussion) RKUHP di hotel Aryaduta Menteng Jakpus mendukung sikap dan pernyataan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej yang menegaskan revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) untuk menghilangkan nuansa hukum kolonial. Dia pun menjelaskan saat ini sudah ada paradigma hukum modern.

“Apa paradigma hukum pidana modern? Keadilan korektif, keadilan restoratif dan keadilan rehabilitatif. Dekolonisasi itu adalah upaya-upaya untuk menghilangkan nuansa hukum kolonial,” ucap Edward dalam Forum Group Discussion (FGD) RKUHP di Hotel Aryaduta, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (24/8/2022).

Edward mengungkapkan KUHP saat ini kental nuansa kolonial seperti pidana yang diutamakan adalah kurungan badan dan pidana mati. Dia menjelaskan pidana penjara merupakan khas kolonial karena tujuanya memenjarakan warga jajahannya agar bisa dieksploitasi.

“Dalam buku 1 KUHP kita itu betul-betul nuansa kolonial. Pidana yang diutamakan adalah pidana mati dan penjara karena di zaman kolonial, terpidana atau narapidana itu betul dieksploitasi untuk melakukan kerja-kerja paksa dan sebagainya,” kata Edward.

Dia menekankan keliru jika dekolonisasi diartikan menghapus pasal-pasal tertentu. Dekolonisasi yang dimaksud dalam RKUHP adalah mengubah konstruksi hukum, bukan isunya.

“Keliru kalau saudara-saudara mengartikan dekolonisasi itu sama dengan menghapus pasal-pasal tertentu. Yang kolonial itu bukan isunya, tapi konstruksi pasalnya. Yang dilakukan oleh RKUHP ini dekolonisasi misalnya (pasal) menyerang martabat Presiden dan Wakil Presiden, sekarang sudah dibatasi,” jelas Edward.

“Apa batasannya? Menyerang harkat dan martabat Presiden itu menghina. Menghina beda secara prinsip dengan mengkritik. Menghina itu beda secara prinsip dengan kebebasan berdemokrasi atau mengeluarkan pendapat,” sambung Edward.

Edward lalu menjelaskan penghinaan Presiden dan Wapres yang dapat disanksi dalam KUHP yang hendak disahkan adalah yang memiliki unsur menista atau memfitnah.

“Pasal 28 UU 1945 itu menjamin kebebasan berpendapat, berdemokrasi, berekspresi, tapi tidak menjamin kebebasan menghina. Menghina itu dalam pidana hanya 2, yaitu menista dan memfitnah,” Edward menekankan.

Edward berharap penjelasannya dapat dipahami oleh para pihak yang memprotes keberadaan pasal penghinaan Presiden, Wakil Presiden, pejabat negara dan penguasa umum.

“Terhadap yang melanggar martabat Presiden dan Wakil Presiden, penghinaan terhadap pejabat negara, penghinaan terhadap kekuasaan umum, itu banyak komentator di dunia maya, di TV dan segala macam bahwa pasal-pasal itu berasal dari Prancis. Itu keliru, dia nggak baca sejarah, ngarang. Pasal-pasal itu berasal dari kode British yang diberlakukan oleh penjajah Inggris kepada warga jajahannya di India. Ketika terjadi Traktat London 1824, kemudian Belanda mengadopsi kode penalty British yang diberlakukan di India itu, dimasukkan ke dalam KUHP yang kita gunakan sekarang,” terang Edward.

Edward juga menyampaikan KUHP yang saat ini berlaku di Tanah Air adalah produk hukum yang dibuat pada 1800 hingga 1870. Dan hukum pidana tersebut sudah terbelakang jika disandingkan dengan perkembangan zaman.

“Pertama, kita tahu persis bahwa kalau berbicara mengenai silsilah hukum pidana kita itu nasabnya sangat jelas. Kita ini adalah anak kandung hukum pidana Belanda, cucu kandung hukum pidana Prancis, cicit kandung hukum pidana Romawi yang tentunya telah mengalami perubahan, telah mengalami banyak dinamika sementara yang masih kita gunakan adalah kitab undang-undang yang dibuat di Negeri Belanda pada 1800-1870. Tentunya sudah out of date, sudah lekang di makan zaman,” jelas dia.

Edward menyebut KUHP saat ini ketinggalan minimal 40 tahun dan masih didominasi aliran klasik. Edward menyebut aliran klasik itu memandang pidana sebagai hukum balas dendam.

“Kita ketinggalan paling tidak 40 tahun, karena paradigma hukum pidana itu sudah berubah. KUHP itu disusun 1800-1870 yang mana didominasi aliran klasik dalam hukum pidana. Aliran klasik itu adalah melindungi kepentingan individu dari kesewenang-wenangan negara,” tutur Edward.

“Karena yang dilindungi adalah kepentingan individu maka orientasi hukum pidana aliran klasik memandang hukum pidana sebagai hukum balas dendam. Artinya ya keadilan retributif. Orang membunuh ya dibalas pidana mati, pidana seumur hidup. Orang mencuri dimasukin dalam penjara,” pungkas dia.

Esensi dari diskusi tersebut adalah menyamakan persepsi dan meluruskan kekeliruan tafsir yang menimbulkan rasa tidak puas dari sebagian mahasiswa. Mahasiswa yang ikut dalam FGD merupakan perwakilan dari BEM se Jabodetabek.

Robert sapaannya, menyampaikan ada 14 pasal yang dinilai masih diawarnai pro-kontra, salah satunya ialah Pasal 218 dan Pasal 219 tentang Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden.
Sebagian kalangan sempat menilai pasal ini bertentangan dengan demokrasi karena menghalangi kritik kepada pemerintah. Namun setelah diskusi, seluruh peserta FGD sepakat pasal tersebut memang diperlukan sebagai norma umum yang memang ada di alam demokrasi.

NB: Ambil bahan dari
https://news.detik.com/berita/d-6252542/wamenkumham-tegaskan-rkuhp-untuk-hilangkan-nuansa-hukum-kolonial/2

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.