Tak Sepakat, Tokoh Adat Menolak Pengukuhan Lukas Enembe sebagai Kepala Suku Besar untuk Seluruh Papua

oleh -208 Dilihat

JAYAPURA – Para tokoh adat dan pemuda adat Papua yang tergabung dalam Rakyat Papua Bersatu, menolak tegas pengukuhan Gubernur Papua, Lukas Enembe, sebagai Kepala Suku Besar Papua oleh Dewan Adat Papua (DAP) versi Domenikus Sarabut.

Ondofolo Yanto Eluay selaku tokoh adat di Papua khususnya Wilayah Sentani, Kabupaten Jayapura saat menggelar jumpa pers di Pendopo Hele Wabhouw Obhe tegas menyebut jika pengukuhan Kepala suku besar oleh DAP tersebut sepihak, dan mencederai kewibawaan Adat Papua.

“Apa yang dilakukan oleh Dewan Adat Papua dengan mengukuhkan Lukas Enembe sebagai kepala suku besar dari 7 wilayah adat itu merupakan salah satu tindakan yang merusak tatanan adat dan wibawa masyarakat adat Papua,”kata Yanto.

Dijelaskannya, yang dimaksudkan merusak tatanan adat lantaran pengukuhan Kepala Suku tersebut tidak sesuai dengan mekanisme dann syarat mutlak sebagai kepala suku.

“Memang ada perbedaan pengangkatan Kepala suku, namun seperti di kami, pengangkatan seseorang Kepala Suku itu ada kriterianya, ada syaratnya, harus sesuai dengan silsilah dan marga, termasuk moral yang bersangkutan, bukan serta merta seperti yang terjadi kepada Lukas Enembe. Dan terkesan ini adalah sarat Kepentingan,” tegas Yanto yang juga mewarisi keondoafian dari orang tuanya Theys Eluay.

Hal lain yang janggal adalah, legitimasi DAP untuk mengukuhkan seseorang menjadi Kepala Suku. Hal ini kata dia, tidak bisa juga dilakukan oleh sembarangan orang, termasuk DAP.

“Kita ketahui bahwa Dewan Adat Papua adalah suatu lembaga yang berfungsi untuk mediasi dan memfasilitasi permasalahan-permasalahan di Papua. Dia tidak memiliki kewenangan untuk menentukan pemimpin-pemimpin adat di setiap suku. Dan bahwa yang memiliki kewenangan hak otonom untuk menentukan pemimpin masyarakat adat atau komunitas sukunya adalah masyarakat yang ada di komunitas itu sendiri,” jelasnya.

Sementara, Ondofolo Perbatasan RI-PNG, Herman A.T Yoku juga tegas mempertanyakan legitimasi DAP versi Domenikus Sarabut. Dikatakan DAP versi tersebut adalah KLB di Wamena, sementara DAP yang sesungguhnya adalah versi Kongres di Fak Fak.

“Yang sah adalah DAP yang diketuai oleh Yan Pieter Yarangga hasil kongres DAP di Fak Fak, sementara yang Dominikus Sarabut tidak. Sehingga kami menilai status Lukas saya anggap dia sebagai kepala suku besar di kampungnya bukan kepala suku besar di Papua atau di Provinsi Papua. Pelantikan atau pengukuhan yang dilakukan oleh Dominikus Sarabut dari dari versi KLB Wamena sangat keliru,” katanya.

Dikatakan, harusnya pengukuhan juga dilakukan oleh tua-tua adat atau kepala kepala suku setempat, bukan DAP yang tidak ada legitimasi adat.

“Yang harusnya mengukuhkan saudara Lukas yang dia adalah tua-tua adat yang di yang ada di wilayah adat Lapago dan bukan berada di wilayah adat orang lain, namun harus ada di Wilayah adatnya. Ini Lukas Enembe dikukuhkan sebagai kepala suku besar oleh Dominiku Sarabut, kapasitas Dominikus serabut itu siapa Apakah dia kepala suku kan tidak. Pengakuan yang dilakukan oleh Domenikus Serabut yang merupakan kepala dewan adat Papua versi KLB itu tidak diakui negara,” tegasnya.

Sementara Ali Kabiyai, selaku Ketua Pemuda Adat Seireri II, dan sekaligus Ketua Pemuda Mandala Trikora, juga menyebut penolakannya atas pengukuhan Lukas Enembe sebagai Kepala Suku Besar Papua.

“Kami pada dasarnya tidak mengakui saudara Lukas Enembe sebagai kepala suku besar bangsa Papua. Saya diangkat sebagai ketua Pemuda adat Seireri oleh suku 3 lembaga adat dan 4 kerukunan di wilayah Nabire pesisir, jadi ada prosesnya,” ucapnya.

Sementara, terkait kasus hukum Lukas Enembe , dirinya menyebut jika KPK terlalu lambat. Harusnya proses tersebut bisa lebih cepat.

“Kami melihat KPK terlambat dalam menyelesaikan kasus gratifikasi kepada Gubernur Papua Lukas Enembe. Kami berharap KPK bisa mempercepat proses penegakan hukum yang namanya korupsi tidak menggunakan hukum adat karena korupsi sama dengan pencuri korupsi harus diselesaikan dengan hukum positif yang berlaku di negara kesatuan Republik Indonesia,” pungkasnya.