Soeharto Dianggap Penuh Dosa, KontraS: Jangan Jadikan Pahlawan Nasional

oleh -15 Dilihat

JAKARTA – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menegaskan Presiden ke-2 Republik Indonesia Soeharto tidak pantas diberi gelar pahlawan nasional.

Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Jane Rosalina, mengatakan banyak sekali dosa-dosa yang dilakukan Soeharto selama 32 tahun berkuasa menjabat sebagai Presiden RI.

Dosa-dosa tersebut mulai dari pelanggaran hak asasi manusia atau HAM berat hingga sejumlah pelanggaran hukum yang telah dilakukannya.

KontraS mencatat ada 9 pelanggaran HAM berat yang dilakukan Soeharto antara lain Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Tanjung Priok (1984), Peristiwa Penembakan Misterius (1982-1985).

Kemudian, Peristiwa Talangsari (1989), Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989-1998), Peristiwa Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998,

Lalu, Peristiwa Trisakti (1998), Semanggi I (1998), dan Semanggi II (1999), Peristiwa Mei 1998, dan Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet (1998-1999).

Sedangkan dari aspek pelanggaran hukum, Transparency International mencatat Soeharto sebagai pemimpin terkorup di dunia, dengan potensi kerugian negara mencapai US$15-35 miliar.

“Banyak sekali masalahnya. Kita membicarakan dosa Soeharto 32 tahun yang tidak bisa terangkum dalam diskusi kita hari ini,” kata Jane dalam sebuah diskusi virtual bertajuk Pro-Kontra Gelar Pahlawan untuk Soeharto: Kejar Tayang? pada Minggu (26/10/2025).

Selain itu, ia menyoroti sistem pemberian gelar pahlawan nasional dan tanda kehormatan yang tidak transparan atau melibatkan partisipasi publik.

Sebaliknya, Jane menilai, pemberian gelar tersebut terkesan tertutup. Bahkan, sarat dengan muatan politis tertentu.

“Pemberian gelar pahlawan nasional, tanda kehormatan, cenderung tertutup, tidak ada ruang partisipasi aktif dari masyarakat,” ujarnya.

Sementara itu, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan pengusulan nama presiden ke-2 RI Soeharto sebagai Pahlawan Nasional bukan keputusan sepihak.

Melainkan, hasil proses panjang yang dimulai dari tingkat daerah hingga ke pemerintah pusat. Ia juga membantah ada polemik atau tekanan politik di lapangan.

“Tidak ada polemik, ya. Pengajuan sudah melalui prosedur berjenjang, mulai dari kabupaten atau kota, kemudian ke provinsi Jawa Tengah, lalu dikaji oleh universitas, dan diteruskan ke Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) di Kementerian Sosial,” kata Fadli Zon.

“Setelah itu, akan dibahas di Dewan Gelar sebelum diajukan ke Presiden.” tandasnya.

Sumber : Kompas