Pakar: Perluasan Peran TNI di Ranah Sipil Berisiko Menggerus Fokus Pertahanan Negara

oleh -43 Dilihat

Yogyakarta – Maraknya penempatan prajurit aktif TNI ke jabatan sipil dinilai berpotensi melemahkan profesionalisme militer dan mengaburkan batas kewenangan antara sektor pertahanan dan pemerintahan sipil.

Isu tersebut mengemuka dalam diskusi publik bertajuk “Hubungan Sipil–Militer dalam Negara Demokrasi: Dinamika Reformasi TNI” yang digelar di Fakultas Hukum UGM, Jumat (14/11/2025).

Pengamat Al Araf menyebut tren keterlibatan TNI dalam urusan sipil semakin terlihat jelas dalam beberapa tahun terakhir, mulai dari jabatan pemerintahan hingga posisi strategis seperti Bulog.

Ia menilai kondisi ini perlu menjadi evaluasi bersama. “Diskusi ini penting, bukan hanya untuk publik, tetapi juga bagi TNI sendiri agar tetap profesional,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, turut menegaskan bahwa penugasan prajurit aktif ke jabatan sipil berpotensi mengganggu fungsi utama TNI sebagai alat pertahanan negara. Ia memperingatkan bahwa perluasan peran tersebut dapat membatasi hak-hak konstitusional warga negara sekaligus membuat TNI terseret pada urusan administratif. “Pertanyaannya, apakah praktik ini tidak mengalihkan fokus TNI dari ancaman eksternal?” kata Usman.

Lebih lanjut, Wahyudi Djafar selaku moderator diskusi, memperingatkan bahwa perluasan peran TNI di ranah sipil dapat menurunkan kesiapan pertahanan negara. Ia menilai fokus militer pada program-program sipil justru berisiko mengancam kemampuan tempur di tengah ancaman modern. “Kalau Indonesia menghadapi kondisi darurat, apakah TNI benar-benar siap ketika pasukannya disibukkan dengan tugas-tugas nonmiliter?” ujarnya.

Dari aspek administrasi, Virga Dwi Efendi menyoroti munculnya “zona abu-abu” ketika perwira aktif menduduki jabatan sipil. Ia mempertanyakan mekanisme akuntabilitas, terutama jika terjadi maladministrasi. “Apakah masih dapat diuji melalui peradilan tata usaha negara ketika pejabatnya adalah militer?” ungkapnya.

Di akhir diskusi, Al Araf mengingatkan bahwa tanpa penataan hubungan sipil–militer yang tegas, Indonesia berisiko bergeser dari negara hukum menuju negara kekuasaan. “Kegagalan membatasi peran militer di ruang sipil bisa menyeret kita pada pola seperti masa lalu, ketika militer sangat dominan,” tegasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.