Calon Pemimpin Masa Depan: Gen Z dan Tantangan Dunia yang Lebih Rumit

oleh -22 Dilihat
Gen Zoomer
Generasi Zoomer (Gen Z).

JAKARTA – Founder Restorasi Jiwa Indonesia (RJI), Syam Basrijal memandang bahwa Generasi Zoomer (Gen Z) memiliki pola tumbuh yang unik. DI mana mereka menjadi generasi yang paling dekat dengan layar dan media sosial.

“Generasi Z adalah generasi pertama yang benar-benar tumbuh bersama layar. Sejak kecil, mereka disambut oleh notifikasi, video pendek, dan dunia tanpa batas yang bernama internet,” kata Syam Basrijal kepada wartawan, Minggu (7/12/2025).

Karena generasi ini sangat cepat terpapar informasi dari berbagai sudut, sehingga pola pikir mereka pun cenderung lebih kompleks. Bahkan kalangan Gen Z tersebut menurut Syam, lebih cerdas, kreatif, dan adaptif dengan lingkungan.

“Mereka hidup di dua dunia sekaligus. Dunia nyata yang penuh tuntutan, dan dunia digital yang penuh perbandingan,” ujarnya.

Sayangnya, karena berada di antara dua dunia yang ia maksud, Syam menyebut jika kaum Gen Z memiliki kecenderungan mental yang rentan dan labil. Ruang batin mereka mudah sekali terombang ambing dan terdistraksi dengan input yang mereka terima.

“Di tengah dua dunia itu, kesehatan mental mereka sering kali menjadi korban yang paling diam,” sambung Syam.

Di samping itu, kondisi kehidupan kalangan ini pun cenderung dipengaruhi oleh validitas di media sosial. Seberapa banyak orang memberika tanda hati atau menekan tombol jempol di postingan mereka, termasuk apakah ada orang yang peduli dengan mereka dalam wujud komentar di akun media sosial.

“Setiap like terasa seperti tepukan di bahu. Setiap komentar menyenangkan seperti pelukan kecil. Tetapi ketika angka itu turun, komentar sepi, atau dibandingkan dengan teman yang lebih populer, muncul bisikan halus dalam batin; Apa aku kurang?,” tuturnya.

Situasi itulah yang disebut Syam Basrijal sebagai sebuah paradoks Gen Z. Di mana media sosial membuka ruang ekspresi, akan tetapi sekaligus memperbesar ruang perbandingan bagi kalangan masyarakat di era Generasi Z tersebut. Di balik konten yang tampak ceria, banyak jiwa muda yang sedang memikul cemas, merasa tidak cukup, dan lelah menyenangkan semua orang.

Parahnya lagi, fenomena Gen Z ini pun akhirnya dijadikan sebuah peluang oleh para pemilik platform. Salah satunya dengan menerapkan algoritma yang bisa mempengaruhi citra visual dan alam bawah sadar kelompok masyarakat tersebut. Akibatnya, muncul istilah FOMO (fear of missing out) yang membuat Gen Z akan sangat sulit lepas dari gadget, khawatir ketinggalan trend dan berita terbaru.

“Media sosial tidak netral. Di balik layar, ada algoritma yang bekerja: mengatur apa yang kita lihat, apa yang sering muncul, apa yang terus muncul bahkan ketika kita ingin berhenti,” jelas Syam Basrijal.

Dengan demikian, Syam Basrijal bisa menarik benang merah bahwa Gen Z akan berpikir sangat kompleks dan cenderung realistis, dan semua itu dipengaruhi oleh derasnya arus informasi sebagai bahan pembanding mereka dalam mengambil sikap, langkah, dan keputusan dalam hidup.

Lantas bagaimana cara menyikapi Gen Z, Syam Basrijal memiliki 4 (empat) poin penting. Pertama adalah, Generasi Z merupakan orang yang sebenarnya sangat ingin didengar keluh kesahnya tanpa harus menghakimi mereka. Yang kedua adalah perlu dibangun kesadaran tentang ambang batas sehat berinteraksi dengan dunia digital dan media sosial.

Ketiga adalah memberikan ruang yang aman bagi mereka yang sedang terpuruk mentalnya, sehingga ada ruang yang baik untuk mereka bisa pulih. Dan yang keempat adalah peran aktif keluarga untuk bisa berinteraksi dan berkomunikasi secara baik, termasuk di lingkungan rumah, pendidikan, maupun lingkungan.

Generasi Z bukan masalah. Mereka adalah cermin. Di wajah mereka, kita melihat betapa cepat perubahan dunia, betapa rapuhnya pondasi sosial dan emosional yang kita bangun bersama.

“Generasi Z membawa luka, tetapi juga potensi yang luar biasa. Dengan pendampingan yang tepat, mereka bisa tumbuh menjadi generasi yang paling sadar, paling reflektif, dan paling berani mengakui keterbatasan manusia – sekaligus tetap melangkah,” ucapnya.

Pola Pikir Gen Z

Lebih lanjut, Syam Basrijal juga menjelaskan tentang bagaimana pola pikir Gen Z. Di mana mereka cenderung haus dengan keadilan dan keberagaman. Akibatnya, kelompok generasi ini akan cenderung sangat vokal dan sensitif.

Aspek yang akan sangat diperhatikan adalah soal kesetaraan genderm bagaimana hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Kemudian soal toleransi beragama dan antar suku yang hidup berdampingan.

“Mereka tidak segan bersuara tentang kesetaraan dan kekerasan berbasis gender, toleransi, anti diskriminasi pada kelompok marjinal dan kerusakan lingkungan hingga krisis iklim,” tandasnya.

Karena hidup di era yang deras akan informasi, maka Gen Z juga akan memiliki perilaku yang cenderung bisa dianggap kelompok Milenial atau Gen Y sebagai perilaku tidak sopan dan membangkang. Di antaranya mereka akan bertanya ketika merasa tidak paham, tak segan menyampaikan kritik ketika merasa ada yang tidak adil, hingga menolak keras jika mendapatkan perintah tanpa penjelasan yang rinci.

“Bagi sebagian orang tua atau pemimpin, ini terasa seperti pembangkangan. Padahal sering kali, mereka hanya ingin diperlakukan sebagai manusia yang punya nalar dan suara. Mereka ingin diajak berdialog, bukan sekadar diperintahkan,” tutur Syam Basrijal.

Berlanjut soal spiritualitas. Syam Basrijal memandang bahwa Gen Z bisa jadi terkesan anti agama, padahal mereka sebenarnya tidak anti agama, melainkan sangat memilih kecenderungan untuk enggan berinteraksi dengan sektor agama yang beraliran keras, kaku, hingga terkesan tidak realistis alias masuk akal. Akibatnya, mereka akan memilih untuk mencari referensi dari internet. Situasi ini yang dia sebut sebagai “Spiritualitas Instan”.

“Mereka akan menemukan ustadz, pendeta, romo, dan pembimbing spiritual di Instagram, YouTube, TikTok. Belajar tentang Tuhan dari video pendek tapi menyentuh hati, serta bisa sampai menangis akibat satu kalimat reflektif di kolom komentar,” tandasnya.

Lantas bagaimana menyikapi pola pikir Gen Z semacam itu. Syam Basrijal menilai jika mereka perlu orang-orang yang mampu mendengar dan membimbing tanpa menjastifikasi. Termasuk memberikan cap murtad, kafir, atau kurang beriman.

“Mereka butuh pendamping yang mau mendengarkan tanpa men-cap, menjawab dengan hati, dan mengaki bahwa ada misteri yang tidak selalu harus dijawab tapi bisa dihidupi,” ucap Syam Basrijal.

Cara Pandang Pekerjaan dan Kepemimpinan

Dalam konteks generasi zoomer Indonesia, Syam Basrijal mengingatkan bahwa Gen Z memiliki sikap dan cara pandang berbeda terhadap pekerjaan. Menurutnya, Gen Z menganggap pekerjaan bukan sekadar bagaimana mencari nafkah, melainkan apakah pekerjaan mereka bermakna atau tidiak.

“Mereka tetap ingin gaji yang layak, itu jelas. Tetapi setelah kebutuhan dasar terpenuhi, mereka akan menoleh kepada pertanyaan lain ; apakah pekerjaan ini membuatku berkembang, apakah lingkungan kerjaku sehat, dan apakah yang aku lakukan berdampak nyata?,” tandasnya.

Akibat nyata dari cara pandang pekerjaan semacam itu, maka Gen Z akan menolak budaya kerja yang memuliakan lembur tanpa arah. Mereka juga cenderung tidak betah di lingkungan toksik yang penuh gosip dan kekerasan verbal. Termasuk lebih memilih mencari tempat lain atau membangun usaha sendiri daripada terjebak dalam sistem yang menggerus jiwa.

“Ini bukan berarti mereka manja. Mereka hanya tidak mau mengorbankan kesehatan mental dan kehidupan pribadi demi status atau gelar yang di mata generasi sebelumnya tampak istimewa,” papar Syam Basrijal.

Lebih lanjut, Syam Basrijal juga mengatakan bahwa Generasi Z tidak terlalu terkesan dengan pemimpin yang hanya mengandalkan jabatan. Mereka menghargai pemimpin yang bisa diajak diskusi tanpa membuat mereka merasa kecil. Mau mendengar gagasan, bukan hanya memberi instruksi. Mampu memberi teladan, bukan sekadar menggertak dengan wewenang.

“Mereka mencari figur pemimpin yang mirip coach atau mentor; jelas, tegas, tetapi hangat dan manusiawi. Pemimpin semacam ini tidak alergi kritik, tetapi justru menggunakannya untuk perbaikan sistem,” tuturnya.

Bahkan mereka juga terkesan tak ingin bekerja di lingkungan dan siklus yang monoton. Maka tak jarang ditemukan Gen Z yang lebih memilih menjadi wirausaha ketimbang jadi pegawai tetap dan mengharapkan dana pensiun.

Maka dari itu, dari semua penjelasan ini Syam Basrijal bisa menarik kesimpulan besar bahwa Gen Z sebenarnya bukan maniak gadget belaka, akan tetapi menjadi calon pemimpin dan penerus Indonesia yang lebih baik lagi ke depan, sepanjang ada regulasi yang jelas, serta tata kelola yang biak dari kaum Gen Z tersebut.

“Generasi Z bukan sekadar anak-anak yang kecanduan gawai. Mereka adalah calon pemimpin, pengusaha, pembuat kebijakan, pendidik, dan orang tua di masa depan. Mereka sedang belajar membaca dunia yang jauh lebih rumit daripada dunia yang kita hadapi di usia mereka dulu,” pungkas Syam Basrijal.