Aksi Bom Bunuh Diri Kartasura, Teror Lone Wolf Korban Radikalisasi

oleh -356 Dilihat

oleh Stanislaus Riyanta

 

Bom meledak di Pos Pengamanan Tugu Kartasura Sukoharjo, Senin (3/6/2019). Ledakan tersebut melukai pelaku, Rofik Asharudin (22), yang diduga berniat melakukan aksi bunuh diri. Pelaku luka parah dan dibawa ke rumah sakit oleh polisi. Aksi yang dilakukan di bulan suci ini diduga kuat sesuai dengan paham radikal yang dipengaruhi oleh ISIS yang pernah menganjurkan simpatisannya untuk melakukan aksi “amaliah” di daerahnya masing-masing di bulan suci Ramadhan. 

Aksi teror yang dilakukan sendirian, bukan kelompok atau organisasi, biasa dikenal dengan lone wolf ini adalah aksi kesekian kalinya yang terjadi di Indonesia. Biasanya aksi lone wolf menggunakan bahan peledak dengan kekuatan kecil, atau serangan dengan senjata tajam, cenderung serampangandan tidak rapi, karena pelaku tidak terlatih dan hanya merencanakan seorang diri. 

Dalam beberapa tahun terakhir tercatat aksi teror yang dilakukan oleh pelaku lone wolf adalah: aksi teror di Gereja Katolik di Medan (28/08/2016), aksi teror terhadap polisi di Cikokol  (20/10/2016), penyerangan terhadap anggota Brimob di Masjid Falatehan (30/06/2017), aksi teror di Gereja St Ludwina Sleman (10/02/2017), dan terakhir aksi teror bom bunuh diri di Pospam Kertasura (3/6/2019).

Berbagai aksi teror lone wolf yang terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir hanya menyerang dua sasaran, yaitu polisi dan tempat ibadah. Hal ini dapat diindikasikan bahwa sasaran tersebut, dipengaruhi oleh paham radikal yang menganggap bahwa polisi dan tempat ibadah umat agama lain yang berbeda dengan agama pelaku sebagai musuh yang harus diperangi.

Fenomena teroris lone wolf di Indonesia muncul seiring dengan propaganda kelompok radikal trans-nasional melalui internet, yang sangat mudah diakses. Kelompok radikal ISIS yang sempat menjadi sorotan dunia karena kekejamannya menjadi daya tarik bagi orang tertentu. Daya tarik tersebut yang mendorong orang untuk mencari informasi lebih jauh melalui internet. Pencarian tersebut yang akhirnya menjadi proses self-radicalization, orang tersebut terpapar secara mandiri dengan media internet.

Proses radikalisasi melalui internet ini tidak hanya berupa transfer ideologi radikal tetapi juga hal-hal teknis seperti cara membuat bom dengan bahan-bahan yang mudah diperoleh sasaran, termasuk cara-cara untuk melakukan survei dan kemudian aksinya. Proses radikalisasi ini tidak mudah dideteksi oleh penegak hukum mengingat orang tersebut tidak tergabung dengan kelompok radikal yang biasanya sudah terdeteksi oleh penegak hukum melalui  media komunikasi atau aliran dana yang terjadi. 

Radikalisasi melalui internet akan semakin matang ketika orang tersebut bisa berkomunikasi dengan mentornya dan mendapat bimbingan ideologis dan arahan teknis untuk melakukan aksinya. Komunikasi ini juga sulit terdeteksi. Hal inilah yang akhirnya aksi teror oleh pelaku lone wolf sulit dicegah, karena proses radikalisasi dan persiapan untuk melakukan aksinya tidak terpantau oleh aparat penegak hukum.

Aksi teror oleh pelaku lone wolf diperkirakan akan menjadi trend dalam aksi-aksi teror di Indonesia ke depan. Hal ini karena aksi teror oleh pelaku yang tergabung dalam organisasi atau kelompok radikal akan semakin tereduksi. Gerak gerik yang dilakukan oleh kelompok lebih mudah terpantau, selain itu penangkapan salah satu anggota akan mempermudah pemantauan anggotan lainnya. 

Penerapan UU No 5 Tahun 2018 tentang Terorisme yang telah mengakomodasi pencegahan terorisme, juga memberika ruang gerak yang lebih luas bagi penegak hukum untuk menekan kelompok radikal ini. Akhirnya kelompok ini akan lebih memilih sebagai sleeper cell sambil menunggu momentum dan kesempatan yang tepat.

Pencegahan aksi teror lone wolf yang cukup sulit harus diantisipasi dengan melibatkan pihak lain diluar penegak hukum. Deteksi dini orang yang terpapar paham radikal dan berpotensi menjadi pelaku aksi teror lone wolf dapat dilakukan oleh keluarga atau orang terdekat. Perubahan perilaku seseorang menjadi intoleran, radikal, dan membenci aparat keamanan menjadi indikator penting bahwa sesorang tersebut terpapar paham radikal. Jika telah menemukan momentum dan kesempatan, maka sesorang tersebut dapat melakukan aksi teror seorang diri.

Keluarga dan masyarakat harus memastikan bahwa anggota keluarga dan orang terdekat di sekitarnya tidak terpapar paham radikal. Jika terdapat indikasi bahwa ada anggota keluarga atau orang terdekat mempunyai paham radikal maka harus segera berkoordinasi dengan aparat keamanan dan penegak hukum untuk antisipasi terjadinya hal-hal yang negatif.

Pemerintah juga perlu membuat regulasi untuk distribusi bahan-bahan kimia termasuk pupuk pertanian yang dapat menjadi bahan baku bahan peledak. Bahan-bahan kimia dan pupuk pertanian yang saat ini dijual bebas harus diperketat penjualannya, jika perlu maka harus dipastikan identitas dan kepentingan pembeli sesuai dengan peruntukan bahan-bahan tersebut secara wajar.

Dengan melakukan deteksi dini perilaku radikal keluarga atau orang terdekat, dan melakukan pengawasan yang ketat terhadap penjualan bahan-bahan kimia dan pertanian yang bisa menjadi bahan dasar bom, maka aksi teror oleh pelaku lone wolf dapat dicegah. Upaya lain yang cukup penting adalah membangun ketahanan keluarga sebagai benteng dari masuknya ideologi radikal untuk mencegah terjadinya radikalisasi dan terorisme di Indonesia. Ketahanan keluarga menjadi kunci dari bebasnya radikalisme dan terorisme di Indonesia.

 

*) Stanislaus Riyanta, analis terorisme, mahasiswa Doktoral Universitas Indonesia