Krisis Politik, Ekonomi, dan Kepercayaan Masyarakat di Masa Kepemimpinan Joko Widodo

oleh -51 Dilihat

Oleh: Hartsa Mashirul Indonesian Club

Jakarta, 25 Agustus 2019

– Krisis Politik 

Hampir genap pemerintahan presiden Joko Widodo dalam periode pertamanya. Sebuah harapan baru saat itu muncul dibenak sebagian rakyat Indonesia akan terjadinya perubahan besar politik dan ekonomi, sehingga kesejahteraan bakal segera tercapai. Masyarakat beranggapan bahwa presiden yang mereka pilih pasti akan memperjuangkan rakyat kecil, dengan tampilan kesederhanaan dan nampak merakyat. Janji-janji kampanye akan meningkatkan kesejahteraan dengan pembangunan yang dipercepat secara besar-besaran, diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi naik menjadi 7% secara bertahap. Namun apa hendak dikata, pertumbuhan ekonomi tak kunjung beranjak naik, melainkan dia jalan di tempat dan cenderung berada dalam kisaran 5,01% hingga pada 5,5%. Sangat jauh dari harapan menuju 7%.

Trisakti dan Nawacita yang pernah digaungkan seolah tak berdaya menghadapi kenyataan.

Kemunculan berbagai persoalan SARA pada perhelatan pilkada DKI seperti menjadi api dalam sekam yang tidak mudah untuk dipadamkan. Nilai Ketuhanan dalam sila pertama Pancasila sudah mulai mendapat guncangan yang bila dibiarkan maka akan terjadi konflik horizontal yang sangat keras dan berbahaya. Saling klaim sebagai Pancasilais terjadi antara pemerintah dan pengkritik pemerintah. Pihak pemerintah berkuasa terkadang melekatkan kepada para pengkritik sebagai anti Pancasila yang akan mengganti ideology Pancasila dengan ideology Islam. Sedangkan disisi sebaliknya, pemerintah dianggap seakan tidak becus dan menyimpang dalam melaksanakan Pancasila sebagai filosofi bangsa. Sejarah yang kembali terulang seperti halnya diawal kemerdekaan, kesalahpahaman subyektif yang mengakibatkan saling menyalahkan dan saling menuduh.

Masih membekas konflik pilkada DKI, musibah kembali menimpa masyarakat Indonesia dalam pesta akbar demokrasi memilih presiden kedelapan RI. Sekitar 600an petugas pemilu meninggal dan lebih dari 10.000 petugas sakit dalam waktu yang raltif singkat dan bersamaan. Ketika kita tengah mencari penyebab kejadian yang dapat dikatakan sebagai kejadian luar biasa tersebut, muncul sebuah tragedy bentrokan masa yang memprotes hasil pemilu dengan aparat kepolisian yang menewaskan 9 orang, ratusan orang luka-luka serta ratusan lainnya ditangkap. Hingga saat ini, kedua tragedy kematian yang berjumlah ratusan orang tersebut masih diselimuti kabut misteri yang akan mengukir sejarah perjalanan gelap bangsa Indonesia.

Belum 5 bulan Indonesia diterpa msuibah kemanusiaan ratusan orang meninggal dan ribuan orang sakit dalam waktu yang singkat, nilai-nilai sila kedua Pancasila dicabik-cabik. Peristiwa yang bermula dari insiden bendera untuk menyambut Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke 74 di Malang dan Surabaya berbuntut pecahnya aksi demonstrasi yang hampir merata di seluruh wilayah Kedaulatan RI di Papua. Mereka menyuarakan kemarahannya terhadap apa yang dialami beberapa mahsiswa yang sedang belajar di Malang dan Surabaya.

Meski patut diduga bahwa aksi masyarakat Papua merupakan akumulasi dari ketidakpuasan mereka terhadap pemerintah pusat, namun tidak banyak yang melihat ini adalah sebuah potensi ancaman besar. Persoalan Papua bukanlah sebuah persoalan yang dapat dipandang sebelah mata kita.

Jangan menganggap bahwa peristiwa rusuh yang terjadi di Papua hanya sebagai persoalan komoditi politik dalam mendapatkan posisi maupun pengaruh dalam istana Negara. Persoalan yang tengah merobek-robek nilai-nilai persatuan Indonesia menjadi sangat kompleks dan rumit yang dapat memicu ekses kemana-mana. Kita tidak pernah boleh melihat persoalan Papua sebagai persoalan untuk bargaining saja, tetapi ini menyangkut penghancuran nilai-nilai Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.  Potensi ancaman perpecahan pun muncul menjadi sebuah potensi yang tinggi.

Terjepitnya situasi bangsa dan Negara akibat berbagai konflik nasional yang mengarah pada situasi krisis nasional, berakibat memunculkan potensi emas bagi bangsa asing untuk mendudukkan kembali NKRI mundur jauh di era tahun 1949. Bahkan potensi tersebut dapat melampaui jauh dari kemunduran sejarah perjalanan bangsa Indonesia menjadi Negara yang terbelah seperti halnya Jerman Timur dan Jerman Barat dimasa lampau.

– Krisis Ekonomi

Dinamika politik dan ekonomi nasional dan dunia yang tidak menentu dan mengalami perlambatan, menjadi satu tantangan besar bagi Indonesia. Perang dagang yang tak kunjung usai antara Amerika dan China mendorong masyarakat dunia untuk berhati-hati dan cenderung wait and see. Salah satu pemicu perang dagang tersebitu, ekspansi besar-besaran China dipasar barang internasional dan memberikan pinjaman kepada negara lain dengan segala aturannya sebagai alat pencaplokannya. Ekpektasi yang diharapkan menjadikan China berkembang menguasai ekonomi dunia. Alhasil, tidak sedikit Negara-negara didunia yang akhirnya tidak menyukai sepak terjang ekspansi ekonominya.

China yang beberapa tahun memegang surat hutang Amerika terbesar secara bertahap mualai melepasnya untuk menjaga stabilitas mata uangnya imbas dari perang dagangnya. Tindakan China melepas surat hutang Amerika bermaksud juga menekan nilai mata uang Amerika, tetapi yang terjadi industry dalam negeri Amerika semakin kompetitif menghadapi pasar. Meski China mendapat julukan pemberi pinjaman paling besar di dunia, baik melaui pembelian surat hutang negara maupun pinjaman dari BUMN seperti, China Development Bank dan Export-Import Bank of China sekitar USSD 5 triliun; namun China juga memiliki hutang sebesar USSD 40 triliun. China juga memegang surat hutang Amerika sebesar UUSD 1,12 triliun, terbesar melebihi surat hutang Amerika yang dipegang oleh Jepang.secara bertahap. Turunnya angka kecenderungan pertumbuhan ekonomi China hingga dibawah 7% seperti akan membuat China tercekik secara perlahan menghadapi perang dagangnya.

Mau tidak mau, China akan melepas surat hutang Amerika secara bertahap. Teringat kembali kita pada masa keruntuhan Uni Soviet yang berperang bintang yang berkepanjangan melawan gabungan negara-negara pada akhirnya memukul balik Uni Soviet saat itu.

Lalu bagaimanakah nasib Indonesia akibat perang dagang tersebut?

Ditandatanginya perjanjian ACFTA yang merupakan pengembangan dari AFTA untuk memasukkan China ke dalam perdaganangan bebas di kawasan ASEAN yaitu, 2 November 2004 berakibat nyata terhadap industry nasional. Penandatanganan ini memberlakukan perdagangan barang secara bebas beberapa Negara ASEAN termasuk Indonesia bersama China pada tahun 2010.

Tanpa persiapan yang matang untuk menghadapi perjanjian tersebut, Indonesia kebanjiran barang dari China. Akibatnya, industry dalam negeri tak bergerak dan perlahan layu hingga mati. Perekonomian Indonesia saat ini yang masih mengandalkan pinjaman kepada China dengan bunga rendah tapi terbilang cukup mengkhawatirkan. Indonesia dapat terkena China Debt Traped bila Indonesia tidak dapat membayar hutang-hutangnya. Indonesia sendiri pada bulan Juni 2019 telah menelan hutang sebesar Rp 5.601 triliun (Rp 14.296 per Dolar AS), begitu mengkawatirkan dikala kondisi pertumbuhan industry maupun ekspor semakin lesu menghadapi perlambatan ekonomi dunia. Yang perlu diperhatikan, jangan sampai Indonesia harus membayar bunga hutang yang cukup besar dengan mengambil pinjaman baru. Bila hal itu terjadi, kita ibarat masuk dalam lingkaran setan renternir yang bakal dapat memperbudak bangsa ini.

Saat ini, kita seperti halnya dikepung oleh kondisi ekonomi dalam negeri yang tak mampu meningkatkan pertumbuhan ekonominya menjadi 7%. Sehingga angka kesejahteraan akan sangat sulit untuk ditingkatkan, imbasnya tentu dirasakan di masyarakat luas. Selain daripada itu, ancaman resesi dunia akan semakin mempersulit laju pertumbuhan gerak ekonomi dalam negeri, yang dapat mengakibatkan datangnya badai krisis ekonomi.

– Krisis Kepercayaan

Namun demikian, jika kita tinjau kembali ujung awal rentetan semua persoalan ini bermula dari kenyataan pelaksanaan filosofi Pancasila ditentang keras oleh perubahan kesepakatan awal hukum dasar nasional Indonesia.

Perubahan ini sesungguhnya merupakan system liberalism yang membuka kembali gerbang neokolonialisme. Bertolak belakang dengan Pancasila. Pancasila seakan dibentur-benturkan dengan isu dan persoalan berlawanan.

Selama dua dasawarsa penerapan system liberalism talah memporak-porandakan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak adanya blue print garis besar haluan Negara untuk gerak langkah arah bangsa Indonesia dalam jangka pendek, menengah, dan jangka panjang, menjadikan Negara ini berjalan reaksioner, ala kadarnya, tanpa persiapan matang menghadapi situasi dinamika gejolak politik dan ekonomi nasional dan dunia.

Ketidakmampuan pemerintahan Jokowi mengelola Negara dan pemerintahan dengan munculnya berbagai konflik horizontal akan dapat memicu sebuah konflik vertikal yang besar yang mengancam keutuhan NKRI.

Berbagai persoalan yang nampaknya enggan terselesaikan hingga ke akar persoalan, mengakibatkan sebuah duri yang tertinggal didalam daging. Kita sebagai bagian dari elemen bangsa dan Negara tentu tidak akan membiarkan terjadinya pembelokan, pembangkangan, dan pengkhianatan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan RI 1945, Pancasila, dan UUD Revolusi Kemerdekaan 1945. Sebagai anak bangsa yang berkewajiban melanjutkan cita-cita para pejuang kemerdekaan RI, kita semua wajib bertindak meluruskan, meletakkan kembali dasar-dasar pondasi berbangsa dan bernegara sebelum mengalami set back jauh kebelakang dalam perjalanan sejarah RI yang kita cintai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.