RUU KUHAP & Kejaksaan: Tubuh dan Roh Kekuasaan Baru

oleh -19 Dilihat

JAKARTA – Direktur Democratic Justice Reform (De Jure), Bhatara Ibnu Reza, mengkritik keras pemahaman asas dominus litis dalam Revisi Undang-Undang Kejaksaan.

Menurutnya, dominus litis versi terbaru ini terlalu menguatkan peran Kejaksaan, bergeser dari sekadar fungsi penuntutan menjadi dominasi penuh korps Adhyaksa untuk mengambil alih seluruh aspek perkara.

“Jadi, dominus litis itu mereka mau atur dari awal sampai akhir. Termasuk dalam konteks restorative justice,” kata Bhatara kepada wartawan, Jumat, 25 Juli 2025.

Bhatara merinci perjalanan panjang Undang-Undang Kejaksaan pasca-Reformasi, dimulai dengan UU Nomor 16 Tahun 2004 yang mempertegas tugas dan wewenang lembaga tersebut.

Kemudian, UU Nomor 11 Tahun 2021 (revisi dari UU 16/2004) semakin mengukuhkan dan memperkuat kekuasaan Kejaksaan.

Kini, di tahun 2025, revisi UU Kejaksaan kembali menjadi sorotan tajam publik, terutama karena perluasan kewenangan Kejaksaan yang dinilai semakin dominan.

Sebagai mantan Komisioner Komisi Kejaksaan (Komjak periode IV), Bhatara Ibnu Reza memandang persoalan ini sebagai satu kesatuan dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).

Ia mengibaratkan RUU Kejaksaan sebagai tubuh, sementara RUU KUHAP adalah roh bagi korps Adhyaksa.

“Kekuasaan Kejaksaan itu kan tubuhnya aja, dan rohnya itu kan di KUHAP,” tegasnya.

Namun, ketika pembahasan beralih ke RUU KUHAP, masalah krusial muncul: terjadinya perebutan kekuasaan sengit antar-lembaga penegak hukum.

Konflik ini dikhawatirkan akan berujung pada ketidakadilan dan minimnya jaminan terhadap hak asasi manusia (HAM).

“Terutama tersangka, terdakwa, itu akan berbahaya. Sebagaimana teman-teman masyarakat sipil berpendapat bahwa RUU KUHAP ini kan tergesa-gesa,” ujarnya.

Dalam sistem hukum Indonesia saat ini, kewenangan Kejaksaan yang luas dan bersinggungan dengan berbagai lembaga lain berpotensi memicu konflik yurisdiksional.

Situasi ini dikhawatirkan dapat berdampak signifikan pada model demokrasi di Indonesia, khususnya dalam menjaga prinsip-prinsip trias politika dan supremasi hukum.

Tanpa adanya batasan yang jelas dan koordinasi yang efektif, tumpang tindih wewenang dapat menghambat checks and balances antar-lembaga penegak hukum, serta berpotensi mengganggu independensi dan akuntabilitas masing-masing institusi.

Menurut Bhatara, perubahan dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan membawa perluasan peran yang signifikan.

Kejaksaan, yang awalnya dikenal sebagai lembaga eksekutif, kini juga memiliki kewenangan yang masuk ke dalam ranah yudikatif.

“Tidak hanya sebagai penuntutan. Jadi ada perubahan besar,” ujar Bhatara.

Bhatara menyoroti perluasan peran Kejaksaan, misalnya, dalam penyelidikan. Ia melihat bagaimana Kejaksaan, melalui fungsi intelijennya, kini bisa mengundang atau memanggil seseorang yang kemudian dapat berlanjut ke tahap penyelidikan, menunjukkan bahwa ini sudah masuk dalam ranah pro justitia.

Ia menambahkan, Kejaksaan telah mengatur sendiri upaya-upaya tersebut tanpa harus menunggu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disahkan.

Hal ini, menurutnya, menjadi pemicu pertarungan antar lembaga penegak hukum, terutama antara Kejaksaan dan Kepolisian, dalam perebutan kewenangan.

Baca Juga: AS-Israel Uring-uringan! Pejuang Hamas Buka Suara Soal Pengakuan Negara Palestina oleh Prancis

“Makanya kemudian polisi memakai kekuasaan polisional, nah Kejaksaan memakai dominus litis,” ucap dia.

Konsep dominus litis secara tradisional mengacu pada jaksa sebagai pengendali penuh perkara pidana, bertindak mewakili publik dan korban dalam penuntutan.

Namun, tampaknya ada perubahan signifikan dalam penafsiran dominus litis kali ini, di mana Kejaksaan berupaya mengambil alih seluruh aspek penanganan perkara.

“Jadi kalau misalnya ada gugatan MK nih, judicial review, itu mereka pengacara negara, diperluas dominus litis, jadi mereka itu sekarang bicara kekuasaan, masuk ke dalam kekuasaan kehakiman,” jelas Bhatara.

Peran Komjak?

Ke depan, peran Komisi Kejaksaan (Komjak) perlu dikritisi secara serius. Dengan meluasnya kewenangan Kejaksaan, Komjak dikhawatirkan tidak lagi berfungsi sebagai lembaga pengawas independen, melainkan justru lebih bersifat suportif terhadap penggunaan kekuasaan Kejaksaan, alih-alih melakukan pengawasan yang efektif.

“Anda bisa bayangkan ke depan Komisi Kejaksaan seperti apa? Jadi lembaga stempel? Seharusnya mengkritisi, jadi kini ada perluasan kewenangan, seharusnya pengawasan ditingkatkan, tapi sekarang Komjak masih begitu-begitu saja, ini Kejaksaannya malah semakin luas. Apa yang mau diawasi?,” jelas Bhatara.

Dengan demikian, konsep dominus litis kini dipahami sebagai pergerakan Kejaksaan yang semakin dalam ke ranah kekuasaan yudikatif, di samping peran utamanya yang sudah pasti sebagai penuntut dalam kasus pidana.

“Itu juga bagaimana mereka mengelola aset. Persoalannya adalah siapa yang akan mengawasi mereka. Dengan kondisi Komjak saat ini yang mendukung perluasan itu,” ucap Bhatara.

Di sisi lain, peran advokat juga kesulitan dalam menjalankan hak dan kewajibannya saat mendampingi klien ketika melaksanakan pekerjaannya.

“Kan belum ada juga bagaimana advokat dalam mendampingi ketika dipanggil,” kata dia.

Singkatnya, seluruh lapisan masyarakat sipil, praktisi hukum, dan organisasi advokat sepakat mendesak penundaan RUU KUHAP.

Sementara itu, Bhatara secara khusus menyoroti RUU Kejaksaan. Ia menyatakan, jika RUU KUHAP diberlakukan dalam kondisi RUU Kejaksaan yang ada saat ini, ia tidak bisa membayangkan bentuk demokrasi seperti apa yang sedang dipraktikkan.

“Terlebih lagi, meskipun RUU KUHAP katanya di drop, saya curiga masuknya TNI sebagai penyidik. Ini gimana?,” tanya dia.

Saat ini, Kejaksaan sedang dalam posisi yang kuat karena kolaborasinya dengan TNI. Bahkan, dalam proses penyitaan, peran kepolisian kini digantikan oleh TNI.

Bayangkan dampaknya pada masyarakat: kantor-kantor Kejaksaan dijaga oleh personel militer, yang tentu menimbulkan pertanyaan besar mengenai kualitas pelayanan publik.

Argumen bahwa penempatan tentara bertujuan untuk melawan koruptor juga patut dipertanyakan, sebab modus operandi korupsi tidak melibatkan serangan fisik semacam itu.

“Gak mungkin koruptor itu pakai tank, senjata, dan segala macam kan,” ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.