Polisi Butuh Restorasi Bukan Reformasi

oleh -4 Dilihat

Oleh :
Sekretaris Assosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia (APDHI)
Dr. Agusta R Minin, S.H,. M.H., Adv. CPM,. CML,. CPCLE,. MICE

Isu perbaikan institusi kepolisian menjadi topik sentral di banyak negara, termasuk Indonesia. Selama dua dekade terakhir, tuntutan reformasi kepolisian kerap mengemuka, terutama sejak era Reformasi 1998. Berbagai kebijakan telah diimplementasikan, seperti pemisahan Polri dari ABRI, pembentukan Divisi Profesi dan Pengamanan, serta digitalisasi layanan publik. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa langkah-langkah tersebut belum sepenuhnya menjawab persoalan mendasar dalam tubuh kepolisian. Masih sering terjadi kasus penyalahgunaan kewenangan, kekerasan berlebihan, serta praktik korupsi yang merusak citra Polri di mata masyarakat.

Jika ditelusuri lebih dalam, persoalan kepolisian bukan hanya bersifat struktural atau administratif, melainkan menyentuh aspek kultural dan etis. Budaya kekuasaan yang hierarkis, resistensi terhadap transparansi, dan lemahnya pengawasan internal menjadi faktor yang menghambat perubahan. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap polisi mengalami fluktuasi bahkan penurunan signifikan setelah munculnya kasus-kasus besar yang menghebohkan publik. Dalam konteks ini, reformasi yang sifatnya teknis atau prosedural terasa tidak cukup. Perubahan harus menyasar akar persoalan, yaitu mengembalikan nilai-nilai dasar kepolisian sebagai penjaga keadilan dan harmoni sosial.

Di sinilah gagasan restorasi menjadi relevan. Restorasi tidak hanya menekankan perubahan aturan atau prosedur, melainkan pemulihan moral, etos pelayanan, dan legitimasi sosial. Restorasi memandang kepolisian bukan sekadar sebagai institusi penegak hukum, tetapi sebagai bagian dari kontrak sosial antara negara dan warganya. Dengan mengembalikan polisi pada fungsi hakikinya — pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat — diharapkan terjadi rekonsiliasi antara institusi dan publik, sehingga terbangun kembali kepercayaan yang selama ini terkikis.

Lebih jauh lagi, restorasi harus diwujudkan dalam bentuk pendidikan etika yang berkelanjutan, revitalisasi kepemimpinan yang berintegritas, serta transparansi yang radikal dalam pengelolaan organisasi. Polisi perlu dipandang bukan hanya sebagai penegak hukum, tetapi juga teladan moral yang menjaga keseimbangan sosial. Restorasi semacam ini akan menciptakan kepolisian yang bukan hanya profesional secara teknis, tetapi juga berkarakter humanis dan dipercaya masyarakat. Dengan demikian, perbaikan institusi kepolisian tidak berhenti pada reformasi semata, melainkan menuju pemulihan menyeluruh yang menyentuh dimensi struktural, kultural, dan moral.

Definisi dan perbedaan konseptual antara reformasi dan restorasi menjadi landasan penting dalam memahami arah perbaikan institusi kepolisian. Reformasi pada dasarnya dipahami sebagai perubahan bertahap terhadap struktur, kebijakan, dan prosedur yang ada. Dalam konteks kepolisian, reformasi sering diwujudkan dalam bentuk revisi SOP, pembentukan unit pengawas baru, atau penyesuaian regulasi sesuai perkembangan zaman. Fokus utamanya adalah memperbaiki mekanisme kerja agar lebih efisien dan akuntabel secara administratif. Pendekatan ini cenderung teknokratis, karena menitikberatkan pada pengaturan ulang sistem tanpa terlalu menyentuh dimensi nilai dan budaya organisasi.

Sementara itu, restorasi memiliki ruang lingkup yang lebih luas dan mendalam. Restorasi dipahami sebagai upaya memulihkan suatu institusi pada kondisi idealnya, bukan hanya memperbaiki kerusakan struktural, tetapi juga memulihkan etika, nilai-nilai, dan legitimasi sosial yang telah luntur. Dalam konteks kepolisian, restorasi berfokus pada pemulihan moral aparat, penguatan etos pelayanan, serta pembangunan kembali kepercayaan publik. Hal ini melibatkan perubahan paradigma: dari polisi sebagai aparat kekuasaan menjadi polisi sebagai penjaga keadilan dan pelayan masyarakat.

Perbedaan ini penting karena permasalahan kepolisian saat ini tidak hanya terletak pada kelemahan sistemik atau kebijakan yang usang, melainkan juga pada degradasi nilai dan moralitas. Kasus penyalahgunaan wewenang, kekerasan berlebihan, hingga praktik korupsi yang melibatkan oknum menunjukkan adanya krisis integritas di dalam tubuh kepolisian. Reformasi yang hanya bersifat prosedural cenderung gagal mengatasi akar persoalan ini, karena tidak menyentuh lapisan terdalam, yaitu kultur organisasi dan nilai-nilai dasar yang seharusnya menjadi pedoman perilaku aparat.

Restorasi menjadi relevan karena menempatkan pemulihan nilai sebagai prioritas utama. Dengan restorasi, institusi kepolisian diarahkan kembali pada misi fundamentalnya, yakni melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Proses ini mencakup pendidikan etika sejak tahap rekrutmen, penegakan disiplin yang konsisten, hingga pembenahan sistem reward and punishment agar adil dan transparan. Restorasi juga mendorong keterlibatan masyarakat sebagai mitra, sehingga hubungan polisi-rakyat tidak bersifat top-down, melainkan kolaboratif.

Dengan demikian, restorasi dapat dilihat sebagai pendekatan yang lebih komprehensif dibandingkan reformasi. Ia tidak hanya memperbaiki sistem, tetapi juga membangun kembali fondasi moral dan sosial dari institusi kepolisian. Restorasi diharapkan menghasilkan perubahan yang lebih berkelanjutan karena menciptakan polisi yang profesional sekaligus humanis. Inilah yang menjadi alasan mengapa isu perbaikan kepolisian sebaiknya digerakkan oleh semangat restorasi, bukan sekadar reformasi, agar tercipta institusi yang benar-benar dipercaya dan dihormati masyarakat.

Berbagai survei di Indonesia menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian (Polri) sangat dipengaruhi oleh kasus-kasus besar yang memicu kontroversi — salah satu yang paling nyata adalah kasus Ferdy Sambo (kasus Brigadir J). Misalnya, survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA mencatat bahwa sebelum kasus tersebut kepercayaan publik terhadap Polri sekitar 72,1%, kemudian turun drastis menjadi 59,1% setelah publik mengetahui kasus itu. Kompas TV+1 Survei dari Indikator Politik Indonesia pula menunjukkan kepercayaan publik terhadap Polri turun dari sekitar 72,3% menjadi 54,4% dalam periode yang tak lama setelah kematian Brigadir J terkuak ke publik. (Kompas).

Walaupun terdapat upaya-upaya reformasi formal seperti pembentukan Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam), perbaikan layanan publik (SIM, tilang elektronik), dan janji-janji transparansi, dampaknya belum mampu sepenuhnya memulihkan citra kepolisian. Penurunan kepercayaan publik yang cukup tajam memperlihatkan bahwa masyarakat melihat masalah tidak hanya pada kekurangan teknis atau prosedural, tetapi pada aspek integritas, penegakan hukum yang adil, dan responsifitas atas pelanggaran internal. Kasus-kasus yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan kekerasan yang di luar batas SOP mendapat sorotan publik dan media yang luas, sehingga memperkuat persepsi bahwa reformasi struktural saja tidak cukup.

Dalam konteks ini, restorasi muncul sebagai kebutuhan yang mendesak. Restorasi bukan hanya soal memperbaiki prosedur, tetapi memulihkan kembali legitimasi sosial Polri sebagai institusi yang dipercaya oleh rakyat. Restorasi menyasar akar: moralitas aparat, budaya organisasi, dan nilai-nilai dasar kepolisian sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan. Masyarakat tidak hanya menilai kepolisian dari seberapa cepat mereka memproses laporan atau memperbarui regulasi, tetapi juga dari seberapa adil dan transparan dalam bertindak, termasuk dalam menangani oknum internal.

Data juga menunjukkan bahwa kepercayaan publik tidak bersifat permanen; ada potensi pemulihan, tetapi sangat bergantung pada bagaimana institusi bertindak secara nyata. Contohnya, menurut survei Indikator Politik Indonesia pada Juni 2023, kepercayaan publik terhadap Polri berhasil naik kembali menjadi 76,4% setelah sempat turun ke kisaran 54-55%. Antara News Makassar Namun kenaikan itu tampak terkait dengan persepsi bahwa Polri mulai bertindak tegas terhadap pelanggaran internal serta adanya usaha-usaha transparansi dan akuntabilitas yang lebih terasa publik. Tetapi kenaikan ini juga rentan kendur jika publik merasa bahwa janji tidak dipenuhi atau pelanggaran tetap dibiarkan.

Dengan demikian, analisis data menunjukkan bahwa reformasi prosedural memang penting, tetapi tanpa restorasi nilai dan moral serta respons atas pelanggaran internal secara konsisten, kepercayaan publik akan tetap fluktuatif atau bahkan terus menurun. Restorasi legitimasi menjadi kunci untuk stabilitas kepercayaan yang lebih tahan lama. Polri perlu membuktikan bahwa institusi tidak hanya mampu menetapkan regulasi baru, tetapi juga mampu mempertanggungjawabkan kesalahan internal, memperkuat budaya profesionalitas dan etika, serta menjadikan pelayan masyarakat sebagai pusat dari segala fungsi mereka.

Mengapa Restorasi Lebih Tepat ?

a. Perspektif Sosiologis
Dalam perspektif sosiologis, kepolisian dipandang sebagai agen pelaksana kontrak sosial yang menghubungkan negara dengan warganya. Teori kontrak sosial Rousseau menegaskan bahwa masyarakat menyerahkan sebagian kebebasannya kepada negara dengan harapan negara — melalui institusi seperti kepolisian — akan menjamin ketertiban, keamanan, dan keadilan. Namun, ketika polisi melakukan penyalahgunaan kekuasaan, berlaku diskriminatif, atau gagal memberikan perlindungan, kontrak sosial tersebut mengalami keretakan. Masyarakat kehilangan rasa memiliki terhadap hukum dan berpotensi mencari keadilan dengan caranya sendiri (misalnya main hakim sendiri atau vigilante justice). Restorasi diperlukan untuk memperbaiki keretakan ini dengan mengembalikan polisi pada peran idealnya sebagai pelindung dan pengayom. Proses ini mencakup pemulihan kepercayaan publik melalui transparansi penegakan hukum, penindakan tegas terhadap pelanggaran internal, dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses pengawasan.

b. Perspektif Kriminologi
Dari perspektif kriminologi, teori legitimacy yang dikemukakan oleh Tom R. Tyler (1990) menjadi relevan. Tyler berpendapat bahwa warga cenderung mematuhi hukum bukan karena takut dihukum, tetapi karena mereka memandang hukum dan aparat penegak hukum sebagai sah (legitimate) dan adil. Persepsi ini sangat bergantung pada procedural justice atau keadilan prosedural: apakah proses penegakan hukum dilakukan secara konsisten, transparan, dan menghormati martabat warga. Jika polisi dipersepsikan tidak adil atau tebang pilih, legitimasi akan runtuh, sehingga tingkat kepatuhan hukum masyarakat menurun. Restorasi menjawab kebutuhan ini dengan memfokuskan perbaikan pada prosedur yang adil, keterbukaan informasi, dan penghormatan terhadap hak-hak warga. Dengan demikian, restorasi bukan sekadar mengubah SOP, tetapi memastikan SOP dijalankan secara etis dan dapat dipertanggungjawabkan.

c. Perspektif Manajemen Organisasi
Dari sudut pandang manajemen organisasi, terlalu sering reformasi dipahami sebagai penambahan aturan, pembentukan unit baru, atau pengetatan prosedur. Alih-alih memperbaiki kinerja, hal ini justru berisiko menciptakan over-bureaucratization, di mana organisasi menjadi terlalu kaku, berbelit, dan lambat merespons masalah. Restorasi menekankan cultural change, yaitu perubahan budaya organisasi secara mendasar. Fokusnya adalah membangun kembali integritas, profesionalitas, dan etos pelayanan sebagai nilai-nilai inti yang dihayati oleh setiap anggota kepolisian. Perubahan ini dapat diwujudkan melalui kepemimpinan yang berkarakter, pelatihan etika berkelanjutan, serta sistem reward and punishment yang adil. Dengan demikian, restorasi tidak hanya mengubah apa yang polisi lakukan, tetapi juga bagaimana mereka berpikir dan merasa terhadap pekerjaannya.

Pendekatan restoratif dalam perbaikan institusi kepolisian menuntut perubahan yang lebih dari sekadar reformasi struktural. Restorasi harus diarahkan pada pemulihan moral, rekonstruksi budaya organisasi, dan pengembalian fungsi hakiki kepolisian. Perubahan ini menuntut transformasi yang bersifat menyeluruh, bukan hanya penyesuaian kebijakan atau pembentukan unit baru. Dengan pendekatan yang holistik, diharapkan institusi kepolisian dapat kembali memperoleh legitimasi dan kepercayaan masyarakat yang selama ini mengalami fluktuasi.

Langkah pertama adalah rekonstruksi etos moral. Pendidikan integritas dan etika harus dimulai sejak tahap rekrutmen, bukan hanya sebagai pelatihan formalitas. Kurikulum pendidikan kepolisian perlu menekankan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan profesionalitas, sehingga calon anggota polisi dibentuk sebagai pelayan publik yang berkarakter. Etos moral ini harus dijaga konsisten hingga tingkat jabatan strategis, melalui evaluasi berkala dan pembinaan etika yang berkelanjutan. Dengan demikian, nilai integritas tidak hanya menjadi slogan, tetapi benar-benar menjadi pedoman perilaku.

Pendekatan berikutnya adalah pemulihan relasi dengan masyarakat. Polisi tidak dapat bekerja efektif tanpa dukungan dan kepercayaan warga. Program community policing yang berbasis kemitraan perlu diperluas, sehingga polisi bukan sekadar hadir dalam bentuk patroli atau penindakan, tetapi juga sebagai mitra yang memahami masalah sosial masyarakat. Dengan melibatkan masyarakat dalam perencanaan keamanan lokal, tercipta rasa memiliki yang lebih besar terhadap ketertiban, sekaligus mengurangi potensi konflik.

Selain itu, transparansi dan akuntabilitas radikal menjadi kunci keberhasilan restorasi. Publik perlu diberikan akses terhadap data penanganan kasus, pelanggaran internal, dan tindak lanjut laporan masyarakat. Mekanisme pengawasan eksternal, seperti dewan pengawas independen, dapat membantu memastikan proses penegakan disiplin berjalan objektif. Transparansi semacam ini akan mengurangi kecurigaan publik terhadap praktik penyalahgunaan wewenang serta memperkuat persepsi keadilan prosedural.

Terakhir, revitalisasi kepemimpinan adalah pilar penting restorasi. Pemimpin kepolisian di semua level harus menjadi teladan moral, bukan hanya administrator yang menjalankan rutinitas birokrasi. Kepemimpinan yang berintegritas akan memengaruhi budaya organisasi secara keseluruhan, menciptakan lingkungan kerja yang kondusif bagi profesionalitas, dan menumbuhkan semangat pengabdian. Dengan kombinasi rekonstruksi etos moral, kemitraan dengan masyarakat, transparansi, dan kepemimpinan yang kuat, restorasi kepolisian dapat berjalan efektif dan berkelanjutan.

Kesimpulannya, perbaikan institusi kepolisian tidak dapat berhenti pada reformasi yang bersifat teknis, birokratis, atau sekadar menyesuaikan struktur organisasi. Reformasi memang penting, tetapi sifatnya hanya memperbaiki sistem kerja di permukaan. Masalah mendasar kepolisian saat ini berada pada tataran nilai, moralitas, dan legitimasi sosial, yang tidak dapat dijawab dengan perubahan prosedur semata. Restorasi hadir sebagai jawaban yang lebih komprehensif karena berfokus pada pemulihan etos moral, penguatan budaya organisasi, dan pengembalian peran kepolisian sebagai pengayom masyarakat yang berkeadilan.

Restorasi ini bertujuan mengembalikan polisi pada esensi keberadaannya, yaitu sebagai penjaga keadilan, pelindung, dan pengayom yang dipercaya oleh masyarakat. Dengan mengutamakan transparansi, akuntabilitas, dan kepemimpinan yang berintegritas, restorasi memungkinkan kepolisian untuk membangun kembali kepercayaan publik yang selama ini tergerus oleh berbagai kasus pelanggaran. Hanya melalui restorasi yang menyeluruh, kepolisian dapat menjalankan tugasnya secara efektif, menjaga harmoni sosial, dan berperan sebagai fondasi utama negara hukum yang demokratis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.